Toilet adalah fasilitas sanitasi untuk tempat buang air besar dan kecil, tempat cuci tangan dan muka. Umum adalah tidak menyangkut yang khusus (semuanya) secara menyeluruh. Toilet Umum adalah fasilitas sanitasi yang mengakomodasi kebutuhan membuang hajat yang digunakan oleh masyarakat umum, tanpa membedakan usia maupun jenis kelamin dari pengguna tersebut. Show Kamar mandi / toilet biasanya dilengkapi dengan perlengkapan untuk buang air kecil maupun besar. Kamar mandi yang dilengkapi dengan urinals, kloset dan bak mandi biasa dinamakan restroom. Toilet adalah fasilitas sanitasi untuk tempat buang air besar dan kecil, tempat cuci tangan dan muka. Umum adalah tidak menyangkut yang khusus (semuanya) secara menyeluruh. Toilet Umum adalah fasilitas sanitasi yang mengakomodasi kebutuhan membuang hajat yang digunakan oleh masyarakat umum, tanpa membedakan usia maupun jenis kelamin dari pengguna tersebut. Ruang istirahat harus mempunyai sirkulasi udara yang baik, tidak berhubungan langsung dengan ruang pengolahan. Ruang istirahat sebaiknya terpisah dari ruang ganti karyawan. Untuk toilet sebaiknya tidak berhubungan langsung dengan ruang pengolahan. Toilet dilengkapi dengan fasilitas seperti suplai air yang lancar, ventilasi, pintu ,dan langit-langit dalam kondisi baik, sabun cair, alat pengering dan suplai air panas. Jumlah toilet tergantung pada jumlah karyawan yang bekerja. Jumlah toilet yang dipersyaratkan untuk unit pengolahan Ø 1-9 Orang = 1 Toilet Ø 10-24 Orang = 2 Toilet Ø 25-49 Orang = 3 Toilet Ø 50-100 Orang = 5 Toilet Setiap Penambahan 30 pekerja dari 100 pekerja ditambah 1 (satu) toilet. Rasio ideal jumlah WC perempuan 1:25 dari jumlah murid perempuan sedangkan rasio WC pria 1:40. Rasio Jumlah Toilet dan Perturasan dengan Jumlah Tenaga Kerja. Pria 1 : 40 Wanita 1 : 25 Aturan mengenai jumlah toilet kita bisa melihat referensi berikut : Peraturan Menteri Perburuhan No 7 Tahun 1964 Tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan serta Penerangan dalam Tempat Kerja Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405 / Menkes / SK / XI / 2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri Sumber : http://pustaka.pu.go.id/?q=content/standar-toilet-umum-indonesia http://teorisingkat.blogspot.co.id/2015/11/tinjauan-pustaka-template-pabrik.html https://rafel896.wordpress.com/2011/10/16/standard-sanitation-operating-procedure-ssop/ https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=236910809737552&id=176487049113262 http://www.hijausehatkemenkes.net/index.php/penyelenggaraan/hygiene-dan-sanitasi-kantor/toilet-kamar-mandi Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No. 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bertujuan meningkatkan perlindungan bagi pekerja, produktivitas, dan menciptakan kondisi kerja yang baik bagi dunia usaha. Reaktor.co.id — Perusahaan-perusahaan diminta segera menerapkan standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) baru sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No.5 Tahun 2018 tentang K3. Pengusaha dan/atau Pengurus yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. “Perusahaan-perusahaan di seluruh Indonesia harus mengutamakan aspek perlindungan pekerja dengan menerapkan standar K3 di lingkungan kerja untuk menghindarkan terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja,” kata Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 (PPK dan K3 ) Sugeng Priyanto. Dilansir laman resmi Kemnaker, dalam acara Sosialisasi Permenaker No.5 Tahun 2018 tentang K3 di Jakarta, Kamis, (11/7), Sugeng menyinggung soal kecelakaan kerja akibat kebakaran pabrik kembang api maupun korek api yang terjadi di Tangerang maupun di Medan. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena tidak adanya jalur evakuasi darurat, dan tidak adanya dengan alat pelindung diri (APD). Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)Permen Ketenagakerjaan Nomor 5 tahun 2018 merupakan standar K3 yang baru. Permen ini sekaligus mencabut peraturan sebelumnya, yaitu Permen Perburuhan No 7 tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan serta penerangan di tempat Kerja, dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi no 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Kimia di Tempat Kerja. Peraturan ini memberikan pedoman baru mengenai nilai ambang batas (NAB) faktor fisika dan kimia, standar faktor biologi, ergonomi dan psikologi serta persyaratan higiene dan sanitasi. Standar K3 juga mengatur kualitas udara dalam ruangan (indoor air quality) untuk mewujudkan tempat kerja yang aman, sehat, dan nyaman sehingga tercipta produktivitas kerja yang terus meningkat. Berikut ini salinan lengkap Permenaker No 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1969 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 120 Mengenai Hygiene dalam Perniagaan dan Kantor-Kantor serta ketentuan Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 ayat (1) huruf i, huruf j,huruf k, huruf l, dan huruf m Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, perlu mengatur keselamatan dan kesehatan kerja lingkungan kerja; b. bahwa dengan perkembangan teknologi dan pemenuhan syarat keselamatan dan kesehatan kerja lingkungan kerja serta perkembangan peraturan perundang-undangan, perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 7 Tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan serta Penerangan dalam Tempat Kerja dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja. Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1969 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 120 mengenai Hygiene dalam Perniagaan dan Kantor-Kantor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2889); 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918); 4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5309); 7. Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan; 8. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8 Tahun 2015 tentang Tata Cara Mempersiapkan Pembentukan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden serta Pembentukan Rancangan Peraturan Menteri di Kementerian Ketenagakerjaan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 411); 9. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1753). MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA LINGKUNGAN KERJA. BAB I Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan Tenaga Kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. 2. Higiene adalah usaha kesehatan preventif yang menitikberatkan kegiatannya kepada usaha kesehatan individu maupun usaha pribadi hidup manusia. 3. Sanitasi adalah usaha kesehatan preventif yang menitikberatkan kegiatan kepada usaha kesehatan Lingkungan hidup manusia. 4. Tempat Kerja adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, di mana Tenaga Kerja bekerja atau yang sering dimasuki Tenaga Kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya termasuk semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan Tempat Kerja tersebut. 5. Lingkungan Kerja adalah aspek Higiene di Tempat Kerja yang di dalamnya mencakup faktor fisika, kimia, biologi, ergonomi dan psikologi yang keberadaannya di Tempat Kerja dapat mempengaruhi keselamatan dan kesehatan Tenaga Kerja. 6. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja yang selanjutnya disebut dengan K3 Lingkungan Kerja adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan Tenaga Kerja melalui pengendalian Lingkungan Kerja dan penerapan Higiene Sanitasi di Tempat Kerja. 7. Nilai Ambang Batas yang selanjutnya disingkat NAB adalah standar faktor bahaya di Tempat Kerja sebagai kadar/intensitas rata-rata tertimbang waktu (time weighted average) yang dapat diterima Tenaga Kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. 8. Pajanan Singkat Diperkenankan yang selanjutnya disingkat PSD adalah kadar bahan kimia di udara Tempat Kerja yang tidak boleh dilampaui agar Tenaga Kerja yang terpajan pada periode singkat yaitu tidak lebih dari 15 menit masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan iritasi, kerusakan jaringan tubuh maupun terbius yang tidak boleh dilakukan lebih dari 4 kali dalam satu hari kerja. 9. Radar Tertinggi Diperkenankan yang selanjutnya disingkat KTD adalah kadar bahan kimia di udara Tempat Kerja yang tidak boleh dilampaui meskipun dalam waktu sekejap selama Tenaga Kerja melakukan pekerjaan. 10. Indeks Pajanan Biologi yang selanjutnya disingkat IPB adalah kadar konsentrasi bahan kimia yang didapatkan dalam spesimen tubuh Tenaga Kerja dan digunakan untuk menentukan tingkat pajanan terhadap Tenaga Kerja sehat yang terpajan bahan kimia. 11. Faktor Fisika adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas Tenaga Kerja yang bersifat fisika, disebabkan oleh penggunaan mesin, peralatan, bahan dan kondisi lingkungan di sekitar Tempat Kerja yang dapat menyebabkan gangguan dan penyakit akibat kerja pada Tenaga Kerja, meliputi Iklim Kerja, Kebisingan, Getaran, radiasi gelombang mikro, Radiasi Ultra Ungu (Ultra Violet), radiasi Medan Magnet Statis, tekanan udara dan Pencahayaan. 12. Faktor Kimia adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas Tenaga Kerja yang bersifat kimiawi, disebabkan oleh penggunaan bahan kimia dan turunannya di Tempat Kerja yang dapat menyebabkan penyakit pada Tenaga Kerja, meliputi kontaminan kimia di udara berupa gas, uap dan partikulat. 13. Faktor Biologi adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas Tenaga Kerja yang bersifat biologi, disebabkan oleh makhluk hidup meliputi hewan, tumbuhan dan produknya serta mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit akibat kerja. 14. Faktor Ergonomi adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas Tenaga Kerja, disebabkan oleh ketidaksesuaian antara fasilitas kerja yang meliputi cara kerja, posisi kerja, alat kerja, dan beban angkat terhadap Tenaga Kerja. 15. Faktor Psikologi adalah faktor yang mempengaruhi aktivitas Tenaga Kerja, disebabkan oleh hubungan antar personal di Tempat Kerja, peran dan tanggung jawab terhadap pekerjaan. 16. Iklim Kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh Tenaga Kerja sebagai akibat pekerjaannya meliputi tekanan panas dan dingin. 17. Indeks Suhu Basah dan Bola (Wet Bulb Globe Temperature Index) yang selanjutnya disingkat ISBB adalah parameter untuk menilai tingkat Iklim Kerja panas yang merupakan hasil perhitungan antara suhu udara kering, Suhu Basah Alami, dan Suhu Bola. 18. Suhu Kering adalah suhu yang ditunjukkan oleh termometer Suhu Kering. 19. Suhu Basah Alami adalah suhu yang ditunjukkan oleh termometer bola basah alami (Natural W et Bulb Thermometer). 20. Suhu Bola adalah suhu yang ditunjukkan oleh termometer bola (Globe Thermometer). 21. Tekanan Dingin adalah pengeluaran panas akibat pajanan terus menerus terhadap dingin yang mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menghasilkan panas sehingga mengakibatkan hipotermia (suhu tubuh di bawah 36 derajat Celsius). 22. Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. 23. Getaran adalah gerakan yang teratur dari benda atau media dengan arah bolak-balik dari kedudukan keseimbangannya. 24. Radiasi Gelombang Radio atau Gelombang Mikro adalah Radiasi Elektromagnetik dengan Frekuensi 30 (tiga puluh) kilo hertz sampai 300 (tiga ratus) giga hertz. 25. Radiasi Ultra Ungu (Ultra Violet) adalah Radiasi Elektromagnetik dengan panjang gelombang 180 (seratus delapan puluh) nano meter sampai 400 (empat ratus) nano meter. 26. Medan Magnet Statis adalah suatu medan atau area yang ditimbulkan oleh pergerakan arus listrik. 27. Tekanan Udara Ekstrim adalah tekanan udara yang lebih tinggi atau tekanan udara yang lebih rendah dari tekanan udara normal (1 atmosphere). 28. Kebersihan adalah bebas dari kotoran serta rapih dan/atau tidak bercampur dengan unsur atau zat lain yang berbahaya. 29. Pencahayaan adalah sesuatu yang memberikan terang (sinar) atau yang menerangi, meliputi Pencahayaan alami dan Pencahayaan Buatan. 30. Pencahayaan Buatan adalah Pencahayaan yang dihasilkan oleh sumber cahaya selain cahaya alami. 31. Bangunan Tempat Kerja adalah bagian dari Tempat Kerja berupa gedung atau bangunan lain, gedung tambahan, halaman beserta jalan, jembatan atau bangunan lainnya yang menjadi bagian dari Tempat Kerja tersebut dan terletak dalam Batas halaman perusahaan. 32. Toilet adalah fasilitas sanitasi tempat buang air besar, kecil, tempat cuci tangan dan/atau muka. 33. Intensitas Cahaya adalah jumlah rata-rata cahaya yang diterima pekerja setiap waktu pengamatan pada setiap titik dan dinyatakan dalam satuan Lux. 34. Lux adalah satuan metrik ukuran cahaya pada suatu permukaan. 35. Kualitas Udara Dalam Ruangan yang selanjutnya disingkat KUDR adalah kualitas udara di ruangan Tempat Kerja, yang dalam kondisi yang buruk yang disebabkan oleh pencemaran atau kontaminasi udara Tempat Kerja, yang dapat menimbulkan gangguan kenyamanan kerja sampai pada gangguan kesehatan Tenaga Kerja. 36. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/ atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. 37. Pengusaha adalah: 38. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu Tempat Kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri. 39. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Pengawas Ketenagakerjaan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam jabatan fungsional Pengawas Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 40. Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3 Lingkungan Kerja adalah Pengawas Ketenagakerjaan yang mempunyai keahlian khusus di bidang K3 Lingkungan Kerja yang berwenang untuk melakukan kegiatan pembinaan, Pemeriksaan, dan Pengujian bidang Lingkungan Kerja serta pengawasan, pembinaan, dan pengembangan sistem pengawasan ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 41. Pemeriksaan Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan untuk memastikan ditaatinya pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan di Perusahaan atau Tempat Kerja. 42. Pengujian Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Pengujian adalah kegiatan penilaian terhadap suatu objek Pengawasan Ketenagakerjaan melalui perhitungan, analisis, pengukuran dan/atau pengetesan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau standar yang berlaku. 43. Penguji K3 adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh untuk melakukan kegiatan Pengujian K3 dan kompetensi K3. 44. Pengujian K3 adalah serangkaian kegiatan penilaian suatu obyek K3 secara teknis dan/atau medis yang mempunyai resiko bahaya dengan cara memberi beban uji atau dengan teknik Pengujian lainnya sesuai dengan ketentuan teknis atau medis yang telah ditentukan. 45. Unit Pelaksana Teknis Bidang K3 adalah satuan organisasi yang mempunyai tugas melaksanakan Pengujian dan Pemeriksaan K3, serta peningkatan kapasitas tenaga K3. 46. Ahli Higiene Industri adalah seseorang yang mempunyai kompetensi yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap dibidang Higiene industri yang mempunyai kualifikasi Ahli Muda Higiene Industri (HIMU), Ahli Madya Higiene Industri (HIMA), dan Ahli Utama Higiene Industri (HIU). 47. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan dan K3. 48. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. Pasal 2 Pengusaha dan/atau Pengurus wajib melaksanakan syarat-syarat K3 Lingkungan Kerja. Pasal 3 Syarat-syarat K3 Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: Pasal 4 Pelaksanaan syarat-syarat K3 Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 bertujuan untuk mewujudkan Lingkungan Kerja yang aman, sehat, dan nyaman dalam rangka mencegah kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Pasal 5 (1) Pelaksanaan syarat-syarat K3 Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan melalui kegiatan: (2) Pengukuran dan pengendalian Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi faktor: (3) Penerapan Higiene dan Sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: BAB II Bagian Kesatu Pasal 6 (1) Pengukuran Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilakukan untuk mengetahui tingkat pajanan Faktor Fisika, Faktor Kimia, Faktor Biologi, Faktor Ergonomi, dan Faktor Psikologi terhadap Tenaga Kerja. (2) Pengukuran Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan metoda uji yang ditetapkan Standar Nasional Indonesia. (3) Dalam hal metoda uji belum ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia, pengukuran dapat dilakukan dengan metoda uji lainnya sesuai dengan standar yang telah divalidasi oleh lembaga yang berwenang. Pasal 7 (1) Pengendalian Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan agar tingkat pajanan Faktor Fisika dan Faktor Kimia berada di bawah NAB. (2) Pengendalian Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan agar penerapan Faktor Biologi, Faktor Ergonomi, dan Faktor Psikologi memenuhi standar. (3) Pengendalian Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat 11) dan ayat (2) dilakukan sesuai hirarki pengendalian meliputi upaya; a. eliminasi; (4) Upaya eliminasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan upaya untuk menghilangkan sumber potensi bahaya yang berasal dari bahan, proses, operasi, atau peralatan. (5) Upaya substitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan upaya untuk mengganti bahan, proses, operasi atau peralatan dari yang berbahaya menjadi tidak berbahaya. (6) Upaya rekayasa teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan upaya memisahkan sumber bahaya dan Tenaga Kerja dengan memasang sistem pengaman pada alat, mesin, dan/atau area kerja. (7) Upaya administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d merupakan upaya pengendalian dari sisi Tenaga Kerja agar dapat melakukan pekerjaan secara aman. (8) Penggunaan alat pelindung diri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e merupakan upaya penggunaan alat yang berfungsi untuk mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari sumber bahaya. Bagian Kedua (1) Pengukuran dan pengendalian Faktor Fisika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a meliput: (2) NAB Faktor Fisika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 9 (1) Pengukuran dan pengendalian Iklim Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya tekanan panas dan Tekanan Dingin. (2) Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya tekanan panas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tempat Kerja yang terdapat sumber panas dan/atau memiliki ventilasi yang tidak memadai. (3) Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Tekanan Dingin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tempat Kerja yang terdapat sumber dingin dan/atau dikarenakan persyaratan operasi. (4) Jika hasil pengukuran Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) melebihi dari NAB atau standar harus dilakukan pengendalian. (5) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui: Pasal 10 (1) Pengukuran dan pengendalian Kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Kebisingan dari operasi peralatan kerja. (2) Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tempat Kerja yang terdapat sumber Kebisingan terus menerus, terputus-putus, impulsif, dan impulsif berulang. (3) Jika hasil pengukuran Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi dari NAB harus dilakukan pengendalian. (4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan melaksanakan program pencegahan penurunan pendengaran dengan: a. menghilangkan sumber Kebisingan dan Tempat Kerja; Pasal 11 (1) Pengukuran dan pengendalian Getaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Getaran dari operasi peralatan kerja. (2) Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Getaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tempat Kerja yang terdapat sumber Getaran pada lengan dan tangan dan Getaran selurah tubuh. (3) Jika hasil pengukuran Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi dari NAB harus dilakukan pengendalian. (4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan: Pasal 12 (1) Pengukuran dan pengendalian Gelombang Radio atau Gelombang Mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Gelombang Radio atau Gelombang Mikro. (2) Tempat Kerja yang memiliki risiko Gelombang Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tempat Kerja yang terdapat radiasi elektromagnetik dengan frekwensi sampai dengan 300 MHz (tiga ratus mega hertz). (3) Tempat Kerja yang memiliki Gelombang Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tempat Kerja yang terdapat radiasi elektromagnetik dengan frekwensi diatas 300 GHz (tiga ratus giga hertz). (4) Jika hasil pengukuran Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) melebihi dari NAB harus dilakukan pengendalian. (5) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan: Pasal 13 (1) Pengukuran dan pengendalian Radiasi Ultra Ungu (Ultra Violet) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf e harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Radiasi Ultra Ungu (Ultra Violet). (2) Tempat Kerja yang memiliki potensi bahaya Radiasi Ultra Ungu (Ultra Violet) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tempat Kerja yang terdapat radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang 180 (seratus delapan puluh) nano meter sampai 400 (empat ratus) nano meter. (3) Jika hasil pengukuran Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi dari NAB harus dilakukan pengendalian. (4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan: Pasal 14 (1) Pengukuran dan pengendalian Medan Magnet Statis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Medan Magnet Statis. (2) Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Medan Magnet Statis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tempat Kerja yang terdapat suatu medan atau area yang ditimbulkan oleh pergerakan arus listrik. (3) Jika hasil pengukuran Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi dari NAB harus dilakukan pengendalian. (4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan: Pasal 15 (1) Pengendalian tekanan udara sebagaimana di maksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf g harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Tekanan Udara Ekstrim. (2) Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Tekanan Udara Ekstrim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tempat Kerja yang kedap air, di perairan yang dalam, dan pekerjaan di bawah tanah atau di bawah air. (3) Jika hasil pemantauan Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan Tekanan Udara Ekstrim harus dilakukan pengendalian. (4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan: Pasal 16 (1) Pengukuran dan pengendalian Pencahayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf g harus dilakukan di Tempat Kerja. (2) Pencahayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (3) Jika hasil pengukuran Pencahayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan standar dilakukan pengendalian agar intensitas Pencahayaan sesuai dengan jenis pekerjaannya. (4) Standar Pencahayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 17 (1) Pencahayaan Alami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a merupakan Pencahayaan yang dihasilkan oleh sinar matahari. (2) Tempat Kerja yang menggunakan Pencahayaan alami, disain gedung harus menjamin Intensitas Cahaya sesuai standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4). Pasal 18 (1) Pencahayaan Buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf b dapat digunakan apabila Pencahayaan alami tidak memenuhi standar Intensitas Cahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4). (2) Pencahayaan Buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh menyebabkan panas yang berlebihan atau mengganggu KUDR. Pasal 19 (1) Sarana Pencahayaan darurat harus disediakan untuk penyelamatan dan evakuasi dalam keadaan darurat. (2) Sarana Pencahayaan darurat sebagaimana, dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: (3) Akses jalan keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c harus dilengkapi garis penunjuk jalan keluar yang terbuat dari bahan reflektif dan/atau memancarkan cahaya. Bagian Ketiga Pasal 20 (1) Pengukuran dan pengendalian Faktor Kimia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki potensi bahaya bahan kimia. (2) Pengukuran Faktor Kimia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pajanannya dan terhadap pekerja yang terpajan. (3) Pengukuran terhadap pajanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang hasilnya untuk dibandingkan dengan NAH harus dilakukan paling singkat selama 6 (enam) jam. (4) Pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang hasilnya untuk dibandingkan dengan PSD, harus dilakukan paling singkat selama 15 (lima belas) menit sebanyak 4 (empat) kali dalam durasi 8 (delapan) jam kerja. (5) Pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang hasilnya untuk dibandingkan dengan KTD harus dilakukan menggunakan alat pembacaan langsung untuk memastikan tidak terlampaui. (6) Pengukuran Faktor Kimia terhadap pekerja yang mengalami pajanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Pemeriksaan kesehatan khusus pada spesimen tubuh Tenaga Kerja dan dibandingkan dengan IPB. (7) NAB sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan IPB sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 21 (1) Jika hasil pengukuran terhadap pajanan melebihi NAB dan hasil pengukuran Faktor Kimia terhadap Tenaga Kerja yang mengalami pajanan melebihi IPB harus dilakukan pengendalian. (2) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: Bagian Keempat Pasal 22 (1) Pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Faktor Biologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki potensi bahaya Faktor Biologi. (2) Potensi bahaya Faktor Biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (3) Faktor Biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan pengukuran. (4) Faktor Biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dilakukan pemantauan. (5) Dalam hal hasil pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melebihi standar harus dilakukan pengendalian. (6) Dalam hal hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdapat potensi bahaya harus dilakukan pengendalian. (7) Potensi bahaya Faktor Biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf g dilakukan pengendalian dengan: (8) Potensi bahaya Faktor Biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f dilakukan pengendalian dengan: (9) Standar Faktor Biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Bagian Kelima Pasal 23 (1) Pengukuran dan pengendalian Faktor Ergonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki potensi bahaya Faktor Ergonomi. (2) Potensi bahaya Faktor Ergonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (3) Jika hasil pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat potensi bahaya harus dilakukan pengendalian sehingga memenuhi standar. (4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan: (5) Standar Faktor Ergonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Bagian Keenam Pasal 24 (1) Pengukuran dan pengendalian Faktor Psikologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki potensi bahaya Faktor Psikologi. (2) Potensi bahaya Faktor Psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (3) Jika hasil pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat potensi bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan pengendalian sesuai standar. (4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah penilaian risiko dan didapatkan faktor yang berkontribusi, (5) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melalui manajemen stress dengan: (6) Standar Faktor Psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 25 Dalam hal terjadi kasus penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh faktor Lingkungan Kerja dilakukan program pengendalian dan penanganan sesuai dengan standar dan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB III Bagian Kesatu Pasal 26 (1) Higiene dan Sanitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a harus diterapkan pada setiap Bangunan Tempat Kerja. (2) Penerapan Higiene dan Sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: Paragraf 1 Pasal 27 (1) Halaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf a harus: (2) Jika terdapat saluran air pembuangan pada halaman, maka saluran air harus tertutup dan terbuat dari bahan yang cukup kuat serta air buangan harus mengalir dan tidak boleh tergenang. Paragraf 2 Pasal 28 (1) Penerapan Higiene dan Sanitasi pada gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf b meliputi; (2) Penerapan Higiene dan Sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memastikan gedung dalam Pasal 29 Dinding dan langit-langit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a harus: Pasal 30 Lantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b harus: Pasal 31 Atap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c harus: Paragraf 3 Pasal 32 (1) Penerapan Higiene dan Sanitasi pada bangunan bawah tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf c dilakukan untuk memastikan bangunan bawah tanah: (2) Dalam hal bangunan bawah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ruang terbatas, penerapan Higiene dan Sanitasi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Pasal 33 (1) Fasilitas Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b harus disediakan pada setiap Tempat Kerja. (2) Fasilitas Kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: Pasal 34 (1) Toilet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a harus: (2) Kelengkapan fasilitas Toilet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: (3) Penempatan Toilet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terpisah antara laki laki, perempuan, dan penyandang cacat, serta diberikan tanda yang jelas. (4) Dalam hal Perusahaan menyediakan tempat mandi, persyaratan tempat mandi harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Untuk menjamin kecukupan atas kebutuhan jamban dengan jumlah Tenaga Kerja dalam satu waktu kerja, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: (6) Dalam hal Toilet laki-laki menyediakan fasilitas peturasan, jumlah jamban tidak boleh kurang dari 2/3 (dua pertiga) jumlah jamban yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). (7) Dalam hal Tempat Kerja termasuk dalam area konstruksi atau Tempat Kerja sementara, harus memenuhi ketentuan paling sedikit sebagai berikut: (8) Dalam hal terdapat Tenaga Kerja perempuan di area konstruksi atau Tempat Kerja sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (7) maka harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 35 (1) Ruang Toilet paling sedikit berukuran panjang 80 (delapan puluh) sentimeter, lebar 155 (seratus lima puluh lima) sentimeter, dan tinggi 220 (dua ratus dua puluh) sentimeter dengan lebar pintu 70 (tujuh puluh) sentimeter. (2) Ruang Toilet untuk penyandang disabilitas harus memenuhi persyaratan: Pasal 36 (1) Tenaga Kerja dalam perusahaan tertentu dapat diwajibkan memakai pakaian kerja sesuai syarat- syarat K3 yang ditetapkan. (2) Pakaian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disediakan oleh Pengurus. (3) Dalam hal Tenaga Kerja menggunakan pakaian kerja hanya selama bekerja, Pengurus harus menyediakan ruang ganti pakaian yang bersih, terpisah antara laki-laki dan perempuan serta pemakaiannya harus diatur agar tidak berdesakan. (4) Ruang ganti pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus tersedia tempat menyimpan pakaian/loker untuk setiap Pekerja yang terjamin keamanannya. Pasal 37 (1) Tempat sampah dan peralatan Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf c harus disediakan pada setiap Tempat Kerja. (2) Tempat sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus: Pasal 38 (1) Tempat pembuangan pembalut harus disediakan pada ruang Toilet perempuan. (2) Tempat pembuangan pembalut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus; (3) Tempat pembuangan pembalut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibersihkan setiap hari. Bagian Ketiga Pasal 39 (1) Kebutuhan atas udara yang bersih dan sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf c harus dipenuhi pada setiap Tempat Kerja. (2) Pemenuhan kebutuhan udara di Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: Pasal 40 (1) Tempat Kerja untuk melakukan jenis pekerjaan administratif, pelayanan umum dan fungsi manajerial harus memenuhi KUDR yang sehat dan bersih. (2) KUDR sebagaimana dimaksud Dada ayat (1) ditentukan oleh suhu, kelembaban, kadar oksigen dan kadar kontaminan udara. (3) Suhu ruangan yang nyaman harus dipertahankan dengan ketentuan: (4) Kadar oksigen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar 19,5% (sembilan belas koma lima persen) sampai dengan 23,5% (dua puluh tiga koma lima persen) dari volume udara. (5) Kadar kontaminan atau polutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 41 (1) Pengurus dan/atau Pengusaha wajib menyediakan sistem ventilasi udara untuk menjamin kebutuhan udara Pekerja dan atau mengurangi kadar kontaminan di Tempat Kerja. (2) Sistem ventilasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersifat alami atau buatan atau kombinasi keduanya. (3) Dalam hal menggunakan ventilasi buatan maka ventilasi tersebut harus dibersihkan secara berkala paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 42 (1) Setiap orang yang bekerja dalam ruangan harus mendapat ruang udara (cubic space) paling sedikit 10 (sepuluh) meter kubik. (2) Ruangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan: Bagian Keempat Pasal 43 (1) Pengusaha dan/atau Pengurus harus melaksanakan ketatarumahtanggaan dengan baik di Tempat Kerja. (2) Ketatarumahtanggaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya: Pasal 44 (1) Alat kerja, perkakas, dan bahan harus ditata dan disimpan secara rapi dan tertib untuk menjamin kelancaran pekerjaan dan tidak menimbulkan bahaya kecelakaan. (2) Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan di gudang dan diberi label yang jelas untuk membedakan barang-barang tersebut. BAB IV Bagian Kesatu Pasal 45 (1) Pengukuran dan pengendalian Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) harus dilakukan oleh personil K3 bidang Lingkungan Kerja. (2) Personil K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (I) meliputi: (3) Personil K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kompetensi dan kewenangan K3 bidang lingkungan kerja. (4) Sertifikasi kompetensi personil K3 bidang Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Kewenangan personil K3 bidang Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan lisensi K3 dan surat keputusan penunjukan. Bagian Kedua Pasal 46 Kompetensi personil K3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) sesuai Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri. Bagian Ketiga Pasal 47 Personil yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a harus memenuhi persyaratan: Pasal 48 Personil yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b harus memenuhi persyaratan: Pasal 49 Personil yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c harus memenuhi persyaratan: Bagian Keempat Pasal 50 (1) Untuk memperoleh lisensi K3 Ahli K3 Lingkungan Kerja, Pengusaha dan/atau Pengurus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan: (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Pemeriksaan dokumen oleh tim. (3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan lengkap, Direktur Jenderal menerbitkan lisensi K3. Pasal 51 (1) Lisensi K3 berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. (2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pengusaha dan/atau Pengurus kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dan lisensi K3. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum masa berlaku lisensi K3 berakhir. Pasal 52 Lisensi K3 hanya berlaku selama Ahli K3 Lingkungan Kerja yang bersangkutan bekerja di perusahaan yang mengajukan permohonan. Pasal 53 (1) Dalam hal sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf e belum ada, dapat menggunakan surat keterangan telah mengikuti pembinaan K3 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal. (2) Surat keterangan telah mengikuti pembinaan K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah dilakukan pembinaan dengan pedoman pelaksanaan pembinaan tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Bagian Kelima Pasal 54 (1) Ahli K3 Muda Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a merupakan Tenaga Kerja yang memiliki tugas untuk: a. melaksanakan peraturan perundang-undangan dan standar yang berkaitan dengan bidang K3 Lingkungan kerja; (2) Ahli K3 Madya Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b merupakan Tenaga Kerja yang memiliki tugas untuk: a. mengelola pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan standar yang berkaitan dengan bidang K3 lingkungan kerja; (3) Ahli K3 Utama Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c merupakan Tenaga Kerja yang memiliki kewenangan untuk: a. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan standar yang berkaitan dengan bidang K3 lingkungan kerja; Pasal 55 (1) Ahli K3 Muda Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a merupakan Tenaga Kerja yang memiliki kewenangan untuk: (2) Ahli K3 Madya Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b merupakan Tenaga Kerja yang memiliki kewenangan untuk: (3) Ahli K3 Utama Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c merupakan Tenaga Kerja yang memiliki kewenangan untuk: a. memasuki Tempat Kerja sesuai dengan penunjukkannya; Bagian Keenam Pasal 56 Personil K3 bidang Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) berkewajiban untuk: Bagian Ketujuh Pasal 57 Lisensi K3 dapat dicabut apabila personil K3 bidang Lingkungan Kerja: BAB V Pasal 58 (1) Setiap Tempat Kerja yang memiliki potensi bahaya Lingkungan Kerja wajib dilakukan Pemeriksaan dan/atau Pengujian. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan mengamati, menganalisis, membandingkan, dan mengevaluasi kondisi Lingkungan Kerja untuk memastikan terpenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (3) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengetesan dan pengukuran kondisi Lingkungan Kerja yang bersumber dari alat, bahan, dan proses kerja untuk mengetahui tingkat konsentrasi dan pajanan terhadap Tenaga Kerja untuk memastikan terpenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 59 (1) (1) Pemeriksaan dan/ atau Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dilakukan secara internal maupun melibatkan lembaga eksternal dari luar Tempat Kerja. (2) Pemeriksaan dan/atau Pengujian internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengukur besaran pajanan sesuai dengan risiko Lingkungan Kerja dan tidak menggugurkan kewajiban Tempat Kerja untuk melakukan pengukuran dengan pihak eksternal. (3) Pemeriksaan dan/atau Pengujian secara internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan oleh personil K3 bidang Lingkungan Kerja. (4) Lembaga eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (5) Pemeriksaan dan/atau Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh: Pasal 60 Pemeriksaan dan/atau Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) meliputi: Pasal 61 (1) Pemeriksaan dan/atau Pengujian pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a dilakukan untuk mengidentifikasi potensi bahaya Lingkungan Kerja di Tempat Kerja. (2) Pemeriksaan dan atau Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: Pasal 62 (1) Pemeriksaan dan/atau Pengujian berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b dilakukan secara eksternal paling sedikit 1 (satu) tahun sekali atau sesuai dengan penilaian risiko atau ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pemeriksaan dan/atau Pengujian berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai Pemeriksaan dan/atau Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2). Pasal 63 (1) Pemeriksaan dan/atau Pengujian ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf c dilakukan apabila hasil Pemeriksaan dan/atau Pengujian sebelumnya baik secara internal maupun eksternal terdapat keraguan. (2) Pemeriksaan dan/atau Pengujian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 64 (1) Pemeriksaan dan/atau Pengujian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf d merupakan kegiatan Pemeriksaan dan/Mau Pengujian yang dilakukan setelah kecelakaan kerja atau laporan dugaan tingkat pajanan di atas NAB. (2) Pemeriksaan dan/atau Pengujian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 65 (1) Pemeriksaan dan/atau Pengujian yang dilakukan oleh lembaga eksternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan Unit Pengawasan Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Hasil Pemeriksaan dan/atau Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Unit Pengawasan Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal Pemeriksaan dan/atau Pengujian dilakukan oleh lembaga eksternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) huruf b, huruf c, dan huruf d, hasil Pemeriksaan dan/atau Pengujian disetujui oleh manajer teknis. (4) Dalam hal Pemeriksaan dan/atau Pengujian dilakukan oleh lembaga eksternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) huruf b dan huruf c atas permintaan perusahaan, laporan hasil Pengujian disampaikan kepada perusahaan yang bersangkutan. (5) Hasil Pemeriksaan dan/atau Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dituangkan dalam surat keterangan memenuhi/tidak memenuhi persyaratan K3 yang diterbitkan oleh unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilengkapi dengan hasil Pemeriksaan dan/atau Pengujian pada lembar terpisah. (7) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dalam 3 (tiga) rangkap dengan rincian: (8) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada unit pengawasan ketenagakerjaan di pusat setiap 1 (satu) bulan sekali. Pasal 66 Pemeriksaan dan/atau Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 menggunakan formulir tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 67 (1) Area kerja yang telah dilakukan Pemeriksaan dan/atau Pengujian dan tidak memenuhi persyaratan K3 diberikan stiker yang dibubuhi stempel. (2) Stiker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 68 (1) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dapat dilakukan secara luring maupun daring. BAB VI Pasal 69 NAB dan/atau standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat ditinjau secara berkala paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. BAB VII Pasal 70 Pengawasan pelaksanaan K3 Lingkungan Kerja dilaksanakan oleh Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3 Lingkungan Kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VIII Pasal 71 Pengusaha dan/atau Pengurus yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. BAB IX Pasal 72 Lisensi Petugas Pemantauan Lingkungan Kerja yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Menteri ini diundangkan, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya lisensi tersebut dan selanjutnya disebut lisensi Ahli K3 Muda Lingkungan Kerja. Bagaimana ketentuan untuk rasio WC toilet untuk karyawan?Ketiga pasal tersebut sangat lengkap dan jelas mengatur tentang Toilet. Sama halnya dengan pengaturan peraturan menteri perburuhan tahun 1964, Permenaker ini mensyaratkan setiap 100 orang pekerja maka diharuskan memiliki 6 toilet dan setiap penambahan 40 orang pekerja maka ditambahkan 1 toilet.
Berapa rasio kebutuhan toilet untuk pria dan wanita?Secara umum kebutuhan fisik, sosial dan psikologi pada wanita tiga kali lebih lama dari pria. Maka seyogyanya jumlah toilet wanita minimal dua kali lebih banyak dari pada toilet pria.
Berapa ukuran toilet umum?Standar Ukuran Toilet untuk Orang Normal
Luas minimal satu toilet adalah 90 cm x 150 cm. Ruang bebas minimal untuk lebar satu wastafel adalah 80 cm.
Apakah toilet termasuk sanitasi?Toilet adalah fasilitas sanitasi untuk tempat buang air besar dan kecil, tempat cuci tangan dan muka.
|